Inilah 23 Negara Yang Tengah Diguncang Demonstrasi

Salah satu negara di guncang demonstran

Dunia sedang tidak baik-baik saja. Dari Amerika latin, Afrika, Eropa hingga Asia, jalan-jalan penuh sesak dengan derap langkah manusia melakukan aksi protes.

Dunia sedang bergolak. Ada pemerintahan yang sudah terguling, beberapa sudah di ujung tanduk. Ada pula yang menyerah takluk pada tuntutan demonstran.

Aksi protes memang umum terjadi, tetapi aksi protes tahun ini eskalasi yang berbeda. Banyak yang membandingkan situasi hari ini seperti tahun 1968. Ketika itu, di berbagai pojok dunia, termasuk di daratan Eropa, meletus revolusi.

“Data menunjukkan bahwa aksi protes meningkat dan sama tinggi gaungnya dengan 1960-an. Dan ini sejak 2009,” kata Jacquelien Van Stekelenburg, seorang Professor yang mempelajari konflik dan perubahan sosial, di Vrije University, Amsterdam.

Meski aksi protes digerakkan oleh beragam pemicu, tetapi persoalan mendasarnya relatif sama: ketimpangan ekonomi, korupsi, pengekangan kebebasan, dan tersumbatnya ruang partisipasi Warga Negara.

Negara mana saja yang bergolak dan apa pemicunya, mari kita lihat:

1. Indonesia

Di minggu terakhir September 2019, Indonesia dilanda demonstrasi besar di sejumlah kota, seperti Jakarta, Malang, Semarang, Balikpapan, Makassar, Padang, Pekanbaru, Samarinda, Kendari, Medan, dan Surabaya.

Pemicunya adalah revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap akan memukul mundur pemberantasan korupsi di Indonesia.

Juga sejumlah RUU ngawur yang buru-buru hendak disahkan oleh DPR di ujung jabatannya. Terutama RKUHP, yang isinya mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Ini adalah demonstrasi terbesar di Indonesia sejak penggulingan Soeharto tahun 1998. Aksi besar di penghujung September 2019 ini diberinama “Reformasi Dikorupsi”.

Sebanyak 5 demonstran tewas dalam aksi ini. 1500-an orang ditangkap. 380-an dijadikan tersangka.

2. Hongkong

Aksi protes di Hongkong sudah dimulai sejak Maret 2019, tetapi baru meledak pada bulan Juli hingga sekarang.

Aksi ini dipicu oleh kebijakan RUU ekstradisi yang diajukan otoritas Hongkong kepada pemerintah pusat di Beijing. Jika RUU ini disahkan, maka tersangka di Hongkong bisa dipindahkan dan diadili di Cina.

Kelihatannya sepele, tetapi ada hal mendasar di belakangnya yang dikhawatirkan warga Hongkong: pengaruh kuat Cina daratan dan komunismenya terhadap keunikan atau keistimewaan Hongkong sebagai tanah bebas dan demokratis.

Jika dihitung sejak Maret, demo di Hongkong sudah berlangsung 250-an hari. Dan hingga hari ini, belum ada tanda-tanda aksi protes di Hongkong mereda.

Mobilisasi massa dalam aksi demonstrasi di Hongkong sungguh luar biasa. Dari sekitar 7,5 juta warganya, yang turun demonstrasi bisa mencapai 500 ribu hingga 1,5 juta orang.

3. Pakistan

Demonstrasi di Pakistan, yang terjadi sejak awal November 2019, terjadi di tengah kondisi ekonomi yang memburuk dan ruang demokrasi yang menyempit.

Aksi massa dimotori oleh partai oposisi, Jamiat Ulema-e-Islam Fazi (Jui-F). Partai ini bercorak religius-konservatif. Mereka menuntut agar Perdana Menteri Imran Khan segera mundur. Sekitar 15-20 ribu orang berpartisipasi dalam aksi ini.

4. Irak

Demonstrasi di Irak, yang sering dinamai Revolusi Oktober, mulai meledak sejak Oktober 2019. Dan masih berlangsung sengit hingga sekarang.

Demonstrasi di Irak digerakkan oleh kondisi ekonomi dan politik yang memburuk. Dari pengangguran, upah murah, infrastruktur public yang buruk, hingga korupsi.

Hingga artikel ini diturunkan, sedikitnya 320 orang sudah gugur dalam aksi protes ini. Ini juga yang menjadikan demonstrasi di Irak sebagai demo paling berdarah-darah dibandingkan dengan demonstrasi serupa yang meletup di negara lain.

5. Lebanon

Tiba-tiba Lebanon menyita perhatian dunia. Pada pertengahan Oktober lalu, jutaan rakyat Lebanon turun ke jalan menuntut pengunduran Perdana Menteri Saad al-Hariri.

Pemicunya terdengar sepele: kebijakan pemerintah memberlakukan pajak 20 sen per hari terhadap pengguna layanan Voice over Internet Protocol (VoIP), sebuah aplikasi yang dipakai oleh whatsapp dan facebook. Tetapi, penyebab utamanya adalah kondisi ekonomi yang memburuk dan pengelolaan politik yang korup.

Di bawah al-Hariri, ekonomi Lebanon cukup liberal, yang menyebakan utang menumpuk, pengangguran melebar, dan kemiskinan bertambah. Secara politik, pemerintahan menjadi sarang korupsi.

Tetapi demonstrasi di Lebanon punya daya pukul yang luar biasa. Hanya berselang beberapa hari setelah demonstrasi besar bergulir, pada 29 Oktober 2019, Perdana Menteri al-Hariri menyatakan mengundurkan diri.

6. Iran

Demonstrasi di Iran baru saja meledak. Ya, baru meledak pada 15 November kemarin, yang dipicu oleh kenaikan harga BBM hingga sebesar 300 persen.

The Telegraph melaporkan ada 4 orang tewas dalam demonstran anti-kenaikan BBM di sejumlah kota di Iran. Sementara kantor berita lain melaporkan baru 1 orang meninggal dan beberapa lainnya terluka.

Pejabat resmi Iran, pada hari Minggu (17/11), menyebut ada 3 orang tewas akibat demonstrasi ini, termasuk seorang perwira Polisi. Polisi tersebut gugur saat demonstran menyerang kantor Polisi di Kermanshah, Sabtu (16/11).

Demonstrasi meledak di kota Tehran, Mahshahr, Khorramshahr, Ahvaz, Omidiyeh, Sirjan, Gachsaran, Shiraz, Zahedan, Mashhad, dan Behbehan.

Pemerintah Iran sendiri sudah memperingatkan bahaya aksi anti-BBM ini ditunggangi kelompok oposisi yang sudah lama mengimpikan perubahan rezim di negeri Islam tersebut.

7. Guinea

Guinea, negeri kecil di Afrika barat, juga diguncang aksi protes sejak Oktober lalu. Aljazeeramelaporkan sedikitnya 20 orang sudah tewas sejak demonstrasi ini bergulir akhir Oktober lalu.

Pemicunya, Presiden Guiena sekarang ini, Alpha Conde, yang berkuasa sejak 2010, ingin memperpanjang masa jabatan Presiden melebihi dua periode.

Untuk memuluskan niat itu, Presiden Conde menginginkan amandemen konstitusi. Tentu saja, pihak oposisi menentang keras rencana tersebut. Sementara kelompok pro-demokrasi menuding Presiden Conde menjadi otoriter.

Demo di Guinea juga besar-besaran, melibatkan ratusan ribu hingga jutaan orang turun ke jalan.

8. Mesir

Mesir terus merambah jalan ketidakpastian. Setelah terbebas dari belenggu kediktatoran Hosni Mubarak, Mesir silih-berganti diperintah oleh rezim militer dan rezim sipil korup.

Demonstrasi di Mesir meledak pada 20 September lalu, dengan tuntutan: Abdel Fattah el-Sisi, seorang petinggi Militer yang memerintah Mesir sejak 2014, segera meletakkan jabatan.

Selain tudingan korupsi, el-Sisi juga dianggap otoriter. Lebih dari 60.000 tahanan politik mendekam di Penjara.

Protes kali ini bermula dari unggahan video Muhammad Ali, seorang aktor dan pengusaha Mesir, yang menyingkap praktek korupsi keluarga Sisi dan sejumlah pejabat militer.

Video yang diunggah di facebook itu segera mengundang kemarahan rakyat Mesir yang sudah jenuh dengan korupsi dan nepotisme.

9. Haiti

Haiti, negeri kecil di kawasan Karibia, juga dilanda aksi demonstrasi sejak awal 2019 lalu. Demonstran menuntut Presiden Haiti saat ini, Jovenel Moïse, seorang liberal-konservatif, segera lengser dari jabatannya.

Demo ini dimulai dari dugaan skandal korupsi di kalangan pejabat pemerintah terkait bantuan dana dari Venezuela melalui program Petrocaribe.

Diperparah lagi, pada bulan Juli, ada kebijakan menaikkan harga bensin, diesel, dan minyak tanah. Rakyat Haiti turun ke jalan melakukan protes.

Hal tersebut membuat aspirasi jalanan untuk melengserkan Presiden Moise makin menguat. Selain berdampak pada ekonomi, demonstrasi di Haiti juga berdampak pada ancaman kelaparan.

Kemarin, Presiden Jovanel Moise meminta bantuan kemanusiaan atas ancaman kelaparan yang akan melanda Haiti, setelah berbulan-bulan dilanda demonstrasi.

10. Inggris

Inggris, negeri tua dan paling mapan di Eropa, juga diguncang aksi protes setelah keputusannya untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit).

Pada 19 Oktober lalu, jutaan rakyat Inggris berdemo di luar parlemen untuk menuntut referendum baru terkait Brexit. Guardian, koran Inggris, menyebut demo ini sebagai salah satu yang terbesar dalam sejarah Negeri itu.

11. Perancis

Sejak akhir 2018 hingga sekarang, Perancis, negeri yang agung dengan revolusi-revolusinya, sedang diguncang oleh aksi demonstrasi besar-besaran.

Salah satunya adalah: gerakan rompi kuning atau Mouvement des gilets jaunes, yang sudah mengguncang Perancis sejak 17 November 2018. Gerakan ini dipicu oleh kenaikan pajak bahan bakar yang berhimpitan dan situasi ekonomi yang memburuk. Aksi pertama, tanggal 17 November 2019, melibatkan 300 ribu orang di seluruh Perancis.

Hari Minggu kemarin, gerakan ini memperingati setahun aksi protes mereka. Demo dilakukan di setiap hari Sabtu sejak 17 November tahun lalu hingga sekarang.

Data resmi menyebutkan, sudah 2.500 orang terluka dalam demonstrasi ini. Sementara 1800 polisi mengalami cidera dan luka-luka. Sementara 24 demonstran kehilangan mata dan tangan akibat tindakan brutal Polisi.

Selain menuntut Presiden Emmanuel Macron, seorang kanan-tengah, segera meletakkan jabatan, gerakan ini juga mengeritik kapitalisme dan neoliberalisme.

12. Rusia

Demonstrasi di Rusia, negeri tempat Revolusi Oktober 1917 mengguncangkan dunia, mulai berlangsung sejak Juli 2019. Pemicunya adalah pemilu lokal yang dituding tidak jujur dan adil.

Penyelenggara pemilu lokal kota Moskow (MCEC) mencoret kandidat oposisi dari jalur independen. Alasannya, tanda-tangan penolaknya cukup tinggi (lebih 10 persen). Di sisi lain, calon-calon dari Partai Komunis, yang tingkat dukungannya rendah, justru diperbolehkan.

Demonstrasi meledak. Ribuan orang berdemo di kota Moskow. Namun, karena dianggap illegal, ribuan orang ditangkap dalam aksi ini. Mayoritas demonstran menuntut agar Presiden Rusia, Vladimir Putin, segera meletakkan jabatan.

13. Spanyol

Spanyol, negeri tua yang sudah ada sejak pertengahan abad ke-15, sedang dirundung ketidakpuasan. Selain ketidakpuasan yang dipicu oleh kondisi ekonomi, juga bangunan kebangsaan yang rapuh.

Beruntung, pada pemilu 10 November lalu, kiri masih bisang menang. Partai Sosialis (PSOE) di urutan pertama, dengan 28 persen suara. Sementara konservatif (PP) dengan 20,8 persen.

Tetapi partai fasis, partai Vox, meraih suara signifikan: 15,1 persen. Sementara partai yang diharapkan membawa perubahan di Spanyol, Podemos, terjungkal ke posisi keempat dengan 12,8 persen suara.

Setidaknya, hasil pemilu masih memungkinkan bagi koalisi kiri (PSOE dan Podemos) membentuk pemerintahan.

Tetapi pemilu tak menjawab aspirasi Catalonia, yang sejak lama menuntut berpisah dari Spanyol. Ini diperkuat oleh Referendum tahun 2017, yang menunjukkan 92 persen rakyat Catalonia lebih menginginkan merdeka.

Pemerintah Spanyol menentang hasil referendum. Sebaliknya, tokoh-tokoh kemerdekaan Catalonia ditangkapi. Ini yang memicu krisis politik di Catalonia terus berlanjut hingga sekarang.

Bulan Oktober lalu, tepatnya 18 Oktober 2019, demonstrasi kembali meledak di Barcelona, kota terbesar di Catalonia. Diperkirakan 525 ribu orang terlibat dalam aksi damai ini.

14. Chile

Tanggal 6 Oktober lalu, Presiden Pinera menaikkan tarif kereta metro sebesar 30 peso (sekitar Rp 600,-). Protes segera meledak ke seantero Chile, yang dimotori oleh mahasiswa, masyarakat adat, dan masyarakat umum.

Tanggal 25 Oktober, lebih dari 1 juta orang turun ke jalan di Ibukota Chile, Santiago. Ini dianggap demonstrasi terbesar dalam sejarah Negeri itu pasca tumbangnya kediktatoran Pinochet.

Rezim Sebastian Pinera menyerah. Kenaikan tarif kereta Metro dibatalkan. Tapi demonstrasi tak berhenti. Sebab, kenaikan tarif hanya pemicu, penyebab utamanya: kebijakan neoliberal yang menyebabkan ketimpangan, kemiskinan dan pengangguran.

Hingga hari ini, demonstrasi besar masih berlangsung di Chile. Meskipun Presiden Pinera kembali mengakomodir tuntutan demonstran terkait penyusunan Konstitusi Baru untuk mengubur konstitusi lama warisan rezim Pinochet.

15. Ekuador

Mirip dengan Chile, protes di Ekuador juga dipicu oleh kebijakan menghapus subsidi. Dalam hal ini, pada 1 Oktober 2019, Presiden Ekuador Lenin Moreno mencabut subsidi BBM. Harga BBM melejit 123 persen.

Besoknya, 2 Oktober, demonstrasi meledak di seantero Ekuador, yang dimotori oleh masyarakat adat, mahasiswa dan buruh. Jutaan orang turun ke jalan. Kantor parlemen dikuasai rakyat. Bahkan Istana Presiden nyaris direbut rakyat.

Saking takutnya, Presiden Lenin Moreno memindahkan kantor Kepresidenan dari Quito, Ibukota Ekuador, ke Guayaquil. Tetapi demonstrasi tak redam.

Meski direpresi, yang berakibat 10 demonstran tewas, 2000an terluka, dan 1000-an ditangkap, protes justru membesar. Dalam posisi terpojok, Presiden Moreno membatalkan kebijakannya.

16. Bolivia

Situasi politik Bolivia mulai mendidih menjelang Pemilu 20 Oktober 2019. Jauh sebelum Pemilu, oposisi sudah tidak mentolelir keberlanjutan pemerintahan Morales dan proyek sosialismenya.

Karena itu, begitu Evo memenangi pemilu, oposisi langsung menuding curang dan menolak hasil pemilu. Meskipun tuduhan curang itu tidak disertai bukti-bukti.

Selesai pemilu, oposisi langsung turun ke jalan memprotes kemenangan Morales. Mereka menggunakan kekerasan untuk menciptakan suasana kacau, menghentikan aktivitas ekonomi, dan mengganggu layanan publik.

Puncaknya, pada 10 November lalu, militer dan Polisi yang memang dekat dengan oposisi dan Amerika Serikat berhasil memaksa Evo Morales meletakkan jabatan. Evo dan pejabat pemerintahannya dipaksa mundur. Keluarganya di bawah ancaman.

Rakyat Bolivia menyebut ini sebagai kudeta. Rakyat Bolivia, yang dimotori masyarakat adat, turun ke jalan untuk memprotes pelengseran Evo Morales.

Tetapi militer dan polisi, yang memang loyal pada oligarki dan AS, menindas perlawan rakyat ini. Lebih dari 20 orang pendukung Evo Morales tewas ditembak tentara.

Tetapi, perjuangan rakyat Bolivia masih berlanjut. Dan semoga menang.

17. Peru

Peru diguncang krisis politik setelah pada 30 September 2019 malam, Presiden berhaluan liberal Martin Vizcarra membubarkan Kongres Peru.

Namun, anggota Kongres yang dikuasai kanan-konservatif menolak keputusan itu dan tak mau meletakkan jabatan. Para pendukung Presiden Vizcarra turun ke jalan untuk mendukung kebijakan pembubaran Kongres.

Sebaliknya, penentang pembubaran Kongres juga turun ke jalan. Mereka menyebut itu kudeta dan menuntut Presiden Vizcarra meletakkan jabatannya.

18. Aljazair

Protes meledak di Aljazair di awal Februari 2019, setelah Presiden yang sedang berkuasa, Abdelaziz Bouteflika, menyatakan pencalonnya sebagai Presiden untuk periode kelima masa jabatannya.

Abdelazis menjadi Presiden Nigeria sejak 1999. Tahun 2008, menjelang masa jabatan periode keduanya berakhir, ia memaksakan perubahan konstitusi yang menghapus masa jabatan Presiden.

Ia akhirnya berhasil menjabat masa jabatan ketiga pada 2009 hingga 2014. Hingga berlanjut lagi 2014-209. Namun, ketika ia berencana untuk periode kelima, rakyat Aljazair marah.

Sejak 16 Februari 2019, protes meledak di Aljazair. Puncaknya, pada 1 Maret 2019, 1 juta orang diperkirakan turun ke jalan. Demo besar terus berlanjut hingga awal April 2019.

Akhirnya, dalam situasi terdesak, pada 2 April 2019, dia meletakkan jabatannya.

19. Serbia

Penghujung 2018, Serbia mulai dilanda ketidakpuasan terhadap Presiden berhaluan kanan, Aleksandar Vučić. Aksi demonstrasi bergulir sejak awal 2019 hingga sekarang.

Isu utamanya adalah korupsi dan pengekangan demokrasi. Awalnya, Presiden Vučić meremehkan demo ini. “Silahkan demo terus, saya tidak akan memenuhi tuntutan bahkan jika kamu 5 juta orang keluar,” kata dia.

Ucapan itu memancing kemarahan. Demonstran keluar dengan slogan “#1ode5millione” atau “1 dari 5 juta orang”.

20. Aksi Menentang Perubahan Iklim

Isu perubahan iklim juga menguat di tahun 2019 ini. Kesadaran akan bahaya perubahan iklim menguat di Amerika Serikat dan Negara-Negara Eropa. Tak sekedar resah, mereka turun ke jalan. Gerakan ini dinamai Extinction Rebellion.

Puncaknya, pada 20-27 September 2019, sebanyak 7,6 juta orang di berbagai kota di dunia, termasuk Jakarta, turun ke jalan untuk menyuarakan isu perubahan iklim.

21. Brazil

Usaha sayap kanan untuk mengakhiri pemerintahan Partai Buruh di Brazil terbilang sangat kasar. Setelah melengserkan Presiden Dilma Roussef pada 2016 melalui “kudeta parlemen”, mereka menjebloskan Lula da Silva ke Penjara pada April 2018.

Lula dipenjara karena dituduh korupsi. Tetapi tuduhan ini tidak pernah terbukti. Namun, pemenjaraan ini hanyalah cara sayap kanan Brazil, dengan dukungan pengadilan, untuk mencegah Lula da Silva maju di Pemilu Brazil 2018. Sebab, Lula adalah kandidat terkuat.

Dan memang demikian, dalam Pemilu Oktober 2018, seorang fasis bernama Jair Bolsonaro terpilih sebagai Presiden. Selain mengembalikan neoliberalisme, dia membawa Brazil ke arah kediktatoran dan konservatisme.

Inilah yang membuat Brazil tidak pernah sepi demonstrasi sejak Bolsonaro terpilih hingga sekarang. Protes dilakukan oleh perempuan, mahasiswa, buruh, penggiat HAM, aktivis lingkungan, dan masyarakat adat.

Tanggal 8 November lalu, setelah mendekam 580 hari dalam penjara, Lula akhirnya bebas. Ia disambut suka cita ribuan orang di depan penjara saat pembebasannya.

22. Argentina

Argentina diperintah oleh rezim kanan sejak Desember 2015. Sejak itu, kebijakan neoliberal menghebat di Argentina. Rakyat Argentina tak terima. Sejak itu pula aksi protes tak henti-hentinya menderap di jalan-jalan kota di Argentina.

Di bawah rezim kanan, ekonomi Argentina kolaps. Bahaya kelaparan mengintai. Akhirnya, pada September 2019, aksi protes meletus di sejumlah kota di Argentina.

Situasi diperparah saat rezim Macri meminta IMF turun tangan mengatasi masalah ekonomi Argentina. Rakyat Argentina tak terima. Mereka tumpah ruah ke jalan.

Protes anti neoliberal ini membesar jelang Pemilu Argentina pada 27 Oktober lalu. Hasilnya, dalam pemilu itu, koalisi kiri yang mengusung Alberto Fernandez berhasil memenangi Pemilu.

23. Georgia

Georgia, negeri kecil di Eropa timur, juga dilanda aksi demonstrasi sejak November ini. Protes dipicu oleh gagalnya perbaikan sistem Pemilu oleh parlemen.

Demonstran menilai, sistim pemilu sekarang menguntungkan partai berkuasa. Sebagai gantinya, mereka menuntut sistim proporsional terbuka.

Sumber : Raymond Samuel

Pos terkait