Kabaroposisi.net.|Jakarta – Kepolisian Sektor (Polsek) Kalideres, Polres Metro Jakarta Barat, mengaku didatangi dan dihubungi banyak pihak terkait viralnya pemberitaan tentang ratusan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang berada di tangan polisi Polsek Kalideres. Hal itu disampaikan Kapolsek Kalideres, Kompol Slamet R., SH, MM kepada media saat disambangi di kantornya, di Mapolsek Kalideres, Kamis, 2 Juli 2020.
“Karena pemberitaan tentang KJP itu, saya jadi repot, banyak pihak menghubungi saya. Ada wartawan, dewan, dan atasan saya, menanyakan soal KJP,” ujar Kapolsek Slamet.
Sebagaimana sudah diketahui secara luas bahwa beberapa waktu lalu, aparat Polsek Kalideres telah mengamankan tidak kurang dari 500 KJP di Mapolsek Kalideres. 200 buah KJP disita dari beberapa wartawan Bidikfakta.Com dan sisanya 300-an buah diambil dari penadah gadai KJP berinisial TA. Untuk 300-an KJP yang terakhir ini, Kapolsek Slamet membantahnya. Namun, dari berbagai sumber diperoleh informasi bahwa 300 buah KJP juga disita petugas dan diamankan di Mapolsek.
Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, yang pertama kali mengungkap kasus penggadaian KJP ini ke publik, mengatakan bahwa dirinya berterima kasih kepada para pihak yang sudah memberikan perhatian pada masalah ini. “Kasus penggadaian KJP sudah terjadi secara massif di berbagai wilayah di Jakarta. Selain di Kalideres, Jakarta Barat, praktek serupa juga diduga terjadi di dua tempat berbeda di Jakarta Timur. Saya mengapresiasi perhatian beberapa pihak, sudah merespon informasi yang kita sampaikan melalui media massa,” tutur Wilson kepada redaksi melalui pesan WhatsApp-nya, Kamis, 2 Juli 2020.
Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu juga mengatakan bahwa dirinya melihat sendiri saat dua staf dari Dinas Pendidikan yang menyambangi Polsek Kalideres untuk berkoordinasi terkait KJP itu. “Kebetulan saya sedang di Polsek Kalideres pada hari Senin (30 Juni 2020) lalu, ada dua orang yang mengaku dari staf Dinas Pendidikan, tapi saya tidak sempat tanya kantor Dinas Pendidikan mana, apakah provinsi, kota, atau subdinas kecamatan. Saya dengar saat bicara dengan polisi di ruangan penyidik, mereka mengatakan datang untuk urusan KJP,” jelas Wilson.
Selain itu, dari jaringan PPWI masuk informasi bahwa esoknya, Selasa, 1 Juli 2020, Mapolsek Kalideres juga didatangi pihak Kantor Gubernur DKI Jakarta bersama media TV-One. “Mungkin mereka datang untuk klarifikasi dan konfirmasi tentang kebenaran pemberitaan yang beredar soal penyitaan KJP dari rentenir yang beralamat di Jl. Manyar, RT 002 RW 015 Kelurahan Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat,” kata sumber yang minta namanya dirahasiakan.
Walaupun pemberitaannya sudah direspon sedemikian rupa, Wilson mengatakan dirinya agak pesimis persoalan ini akan ditindaklanjuti dengan serius. Pasalnya menurut dia, pihak Polsek Kalideres terkesan membela penadah KJP itu. “Pada pertemuan tadi siang, Kapolsek Slamet terlihat kurang senang dengan pengungkapan kasus penggadaian KJP tersebut. Kapolsek mengatakan kepada saya, apakah salah jika si pedagang (si penadah KJP – red) menerima KJP untuk pembelian pakaian sekolah yang dijualnya? Saya balik bertanya, jika si pedagang memegang 500-an KJP, apakah itu sesuatu yang wajar? Justru Polisi harus bertanya dan mengusutnya, mengapa KJP bisa berada di tangan satu orang dalam jumlah yang sangat banyak untuk waktu tertentu yang panjang?” urai alumni pascasarjana Global Ethics dari Birmingham University, Inggris ini dengan nada prihatin.
Bahkan lebih jauh, Wilson mengatakan Polsek Kalideres terkesan membela perilaku oknum TA, penadah KJP yang digadaikan. “Sulit yaa kita membersihkan bangsa ini dari perilaku melanggar aturan yang ada. KJP diperuntukkan bagi anak-anak kurang mampu agar lancar proses pendidikannya, namun justru ada pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan pribadi dari kebijakan Pemerintah tersebut. Sayangnya, aparat juga terkesan tutup mata terhadap pelanggaran semacam itu, justru terkesan memback-up-nya. Sayang sekali yaa,” pungkas Wilson yang juga menyelesaikan pascasarjananya di bidang Applied Ethics di Belanda dan Swedia itu menyesalkan. (APL/Red)