KABAROPOSISI.NET.|BANYUWANGI – Siapa yang tidak kenali nama panggilan “Kuntet Wakinjay” bernama asli “Harsono” seorang pelaku seni Banyuwangi yang kini kondang sebagai “Komedian” warga Dusun Juruh Desa/Kecamatan Singojuruh Kabupaten Banyuwangi. Pelaku seni yang satu ini banyak makan garam dalam dunia seni “Janger” berbagai peran dilakoninya dan dapuk (peran) paling ditekuninya sampai sekarang adalah ”Dagelan (Komedian)“.
Komedian yang dalam aksi manggungnya di berbagai daerah dalam dan luar Jawa itu, berpasangan dengan seorang komedian berjuluk nama panggung “Percil” alias “Deny”. Sepertinya tidak mau dibilang “Ibarat Kacang Lupa Kulitnya”, atau yang kurang lebihnya bermaknakan “setelah berjaya melupakan asal muasalnya”. Yang dimaksut “Kuntet” adalah asal muasal talenta seni yang sekarang membuat dirinya juga keluarga terangkat kehidupannya.
Menurut Harsono alias “Kuntet” kesenian di Banyuwangi tidak ujuk-ujuk ada begitu saja tanpa ada yang memulainya terlebih dulu dan mewariskannya ke generasi pada peradaban kehidupan berikutnya sampai pada era dirinya (Kuntet) sekarang.
“Saya seperti ini sekarang karena pengetahuan seni yang tentu bukan ciptaan saya dan Percil, melainkan meniru seni dan kesenian yang sudah ada sejak saya belum lahir yang dilakukan oleh para leluhur di masanya. Apa yang saya dan Percil lakukan di atas panggung tidak meninggalkan dasar-dasar atau marwah seni aslinya, satu misal jogetan, juga tembang-tembang daerah. Sesekali dikolaborasi sedikit warna modern tapi hanya sekedar untuk bumbu menyesuaikan situasi dan kondisinya saja”, ungkap sosok pria yang kondisi fisiknya pendek justru jadi julukan nama panggungnya yaitu “Kuntet” itu.
Kembali pada tak ingin dibilang “Seperti Kacang Lupa Kulitnya”, si “Kuntet” menyampaikan kritikannya kepada Pemerintah Daerah Banyuwangi, singgung soal cikal bakal kesenian yang jadi icon Banyuwangi yaitu “Gandrung”. Dikatakan oleh “Kuntet” dengan tegas,
“Tidak akan ada sebutan Gandrung Sewu, kalau tidak ada Mbah Marsan (Gandrung lanang), kalau tidak ada mbah Semi dan penerusnya para penari Gandrung legendaris Banyuwangi lainnya. Saya mohon dengan hormat lagi sangat, entah bagaimana caranya Pemerintah Banyuwangi untuk tidak melupakan jasa Mbah Marsan. Apalagi saya dengar-dengar cerita bahwa legendanya Gandrung dulu jadi alat perjuangan, yang mana konon katanya penari Gandrung mengamen untuk dapatkan beras untuk makan para pejuang juga jadi mata-mata untuk mencari tahu situasi kondisi penjajah Belanda. Artinya menurut saya, Mbah Marsan dan yang lain waktu itu jadi pejoget Gandrung hanya demi nasib-nasib pelaku seni seperti saya sekarang ini mas”, jelentreh “Kuntet” yang disebutnya sebagai penyampaian aspirasinya itu,
Masih kata “Kuntet”, terlebih kesenian tradisional Gandrung yang punya sejarah panjang itu, kini ditetapkan sebagai “icon” Pariwisata Banyuwangi. Tak hanya itu kata “Kuntet”, diakui atau tidak “Gandrung” layak disebut sebagai “Mahkotanya” Banyuwangi kalau dilihat dari sejarahnya yang punya peran penting dalam perjuangan bangsa melawan penjajah Belanda kala itu.
Di akhir penyampaiannya “Kuntet” bahkan meminta kepada Pemerintah Daerah Banyuwangi untuk dibuatkan sebuah patung “Mbah Marsan” atau Gandrung Lanang di Kecamatan Singojuruh. Juga mengusulkan diacara Gandrung Sewu, ada tampilan penari Gandrung Lanang sebagai simbul perjuangan Mbah Marsan.
“Saya mohon kepada Pemerintah Derah untuk dibuat patung Mbah Marsan atau Gandrung Lanang di Kecamatan Singojuruh, dan kalau bisa di acara Gandrung Sewu ada tampilan penari Gandrung Lanang sebagai simbul perjuangan Mbah Marsan dan teman seperjuangannya”, pintanya.
Sementara akhir-akhir ini diyakini oleh masyarakat Singojuruh, bahwa makam “Gandrung Lanang” Mbah Marsan berasa di Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang terletak di Dusun Juruh Desa Singojuruh Kabupaten Banyuwangi. Keberadaan makam Mbah Marsan diketahui dari informasi mantan Kepala Desa Singojuruh (Alm. Bapak Sahuni) yang diketahui juga sebagai sosok tokoh seni daerah Banyuwangi. (r35).