Inilah Asal Muasal Adanya Ritual Adat Kebo-Keboan Desa Alasmalang Versi Mbah Ribut

KABAROPOSISI.NET.|BANYUWANGI – Kegiatan ritual adat Kebo-Keboan Desa Alasmalang Kecamatan Singojuruh Kabupatn Banyuwangi Jawa Timur yang gaungnya menasional bahkan internasional.   Ternyata ada cerita yang sampai saat ini diyakini oleh masyarakat sebagai asal muasal dilaksanakannya ritual tersebut.

Untuk lebih jauh tentang bagaimana-bagaimananya awak media secara eksklusif Selasa 9/8/2022 wawancarai salah satu tokoh masyarakat bernama asli Sapuan berjuluk sebutan “Mbah Ribut” di kediamannya. Yang mana sosok pria berusia sekitar 80 tahunan ini, dikenali atau dipercaya oleh masyarakat sebagai “Pawang” ritual adat “Kebo-Keboan” di Desa Alasmalang hingga saat ini.

Saat diminta untuk menceritakan asal usul diadakannya tradisi “Kebo-Keboan”, Mbah Ribut tidak serta merta langsung merespon, namun terlihat seolah ambil nafas panjang dan diam sejenak seolah ada komunikasi khusus dengan sesuatu. Setelah sekira kurang lebih selama 3 menitan, Mbah Ribut baru berkenan buka suara bercerita sejarah bagaimana tradisi “Kebo-Keboan” Alasmalang diadakan di Desanya.

Mbah Ribut awali dengan cerita yang dirinya juga masyarakat sampai saat ini sihakini sebagai asal muasal lahirnya tradisi “Kebo-Keboan”. Di suatu masa penjajahan Belanda dulu, di lingkungan tempat kediaman Mbah Ribut yang sekarang bersebutan nama Dusun Krajan Desa Alasmalang. Dulu pernah hidup seorang tokoh dituakan yang disebutnya dengan nama julukan “Mbah Buyut Karti”. Kala itu masyarakatnya termasuk “Mbah Buyut Karti” hidupnya murni dari bertani, dan tanam padi selama 3 (tiga) musim gagal panen karena diserang wabah yang sulit diatasinya (Pagebluk). Bahkan di waktu yang sama kala itu ada satu wilayah sekitar segoro kidul (pantai selatan) terserang wabah penyakit yang membuat warga istilah Mbah Ribut “isuk loro bengi mati (pagi sakit malam meninggal)”.

Lanjut Mbah Ribut, entah dapat petunjuk (wangsit) dari mana gara-gara gagal panen berkepanjangan yang kemudian disebutnya Pagebluk itu, Mbah Buyut Karti menurut cerita leluhur sebelumnya woro-woro dan ajak-ajak tetangga yang masa itu hanya beberapa rumah saja. Untuk mengadakan selamatan kampung (dusun) yang sekarang dikenali selamatan bersih deso, tapi karena kaitannya dengan bertani disertai dengan seremonial “Kebo-Keboan” sekedar untuk membuat guyup masyarakat. Yang mana masa itu sebagai simbol wujud “Kebo-Keboan” warga yang dipasangi benda menyerupai bentuk tanduk di kepalanya yang terbuat dari “Sabut/Kulit luar buah Kelapa” atau disebut “Sepet” istilah Osing-nya.

Singkat cerita kata Mbah Ribut, setelah dilakukan ider bumi (keliling kampung) disiapkan benih padi dan doa permohonan kepada Allah Swt, lalu dilakukan seremonial membajak sawah (nyingkal istilah Osing) lokasinya dulu di perempatan kampung (dusun) untuk buat tempat tabur benih padi Jawa (pari Jowo). Selanjutnya benih padi ditebar dan warga yang ikut dalam seremonial ritual dan warga lain kampung yang nonton tau-tau turun ke sawah (kedokan) berebut benih padi Jawa yang sudah ditaburkan. Saat itulah “Kebo-Keboan” seremonialnya mengamuk melindungi benih padi supaya tidak diambil oleh warga.

Dan kala itu kata Mbah Ribut, yang nonton dan ikut berebut benih padi itu tidak hanya warga Alasmalang saja, tapi juga dari luar Alasmalang yang mana benih padi yang didapat dari ritual selamatan adat “Kebo-Keboan” itu dibawa pulang dan dicampurkan pada benih padi yang ada di rumahnya dengan harapan ketularan berkah doa. Nah, entah kebetulan atau karena berkah menurut cerita orang tuwa-tuwa dulu, setelah diadakan selamatan bersih deso disertai “Kebo-Keboan” itu, tanaman padi selamat dan bisa panen normal. Oleh karena itu kemudian oleh warga Alasmalang apa yang dilakukan oleh Mbah Buyut Karti, dilestarikan dan diteruskan oleh anaknya yang bernama Mbah Pon/Buyut Pon (Ponijan) dan seterusnya sampai sekarang.

Supaya tidak ada penafsiran keliru Mbah Ribut juga menjelaskan, bahwa dalam ritual adat “Kebo-Keboan” semua doa permohonannya hanya kepada Allah Swt tidak pada yang lain. Selamatan dengan segala macam menu makanan yang ada dari masyarakat adalah berbagi/sodaqoh sebagai wujud syukur atas nikmat Allah yang diterimanya selama ini. (r35).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *