Kabaroposisi.net | Jombang – Dengan banyaknya apotek yang saat ini tersedia, semakin memudahkan masyarakat untuk memberikan terapi pada keadaan apapun, termasuk pembelian antibiotik pada saat sakit.
Namun tidak semua orang menyadari, bahwa antibiotik bukanlah obat bebas. Artinya, pemilihan obat antibiotik harus dilakukan oleh dokter dan syarat dilakukan pembelian adalah adanya resep dokter. Hal ini disebabkan karena jenis, dosis, durasi dan cara pemberian untuk setiap keadaan pasien bisa berbeda.
Spesialis Mikrobiologi Klinik RSUD Jombang , dr. Merry Puspita, M.Ked.Klin., Sp.MK menjelaskan, antibiotik adalah substansi kimia yang bisa berasal dari mikroorganisme atau bukan, yang berfungsi untuk menekan atau membunuh bakteri penyebab infeksi.
“Oleh sebab itu sebelum konsumsi antibiotik perlu dipastikan jika seseorang tersebut sedang terkena penyakit infeksi bakteri. Untuk memastikannya, perlu penegakan diagnosis yang dilakukan oleh dokter,” jelasnya, Selasa (05/11/2024).
Dokter Merry menerangkan, konsumsi antibiotik tanpa resep dokter bisa memberikan efek negatif. Karena pemilihan antibiotik yang salah tidak akan menyelesaikan permasalahan infeksi. Malah justru bisa memperparah keadaan.
“Kemudian yang lebih penting dan tidak akan dirasakan secara langsung adalah bakteri bisa menjadi kebal terhadap antibiotik ini,” terangnya.
Bakteri yang kebal terhadap antibiotik, dr. Merry menandaskan, bisa menyebabkan infeksi semakin lama kesembuhannya, biaya untuk pengobatan semakin mahal dan menularkan bakteri ke sekitar. Perlu pemilihan antibiotik yang lebih kuat yang tentu saja bisa memberikan efek ke tubuh, bahkan mungkin perlu antibiotik suntik sehingga orang tersebut harus opname.
“Seseorang yang terinfeksi bakteri kebal antibiotik memerlukan waktu opname lebih lama dibanding penyakit yang lainnya,” tandasnya.
Lebih lanjut dr. Merry memaparkan, tidak hanya memberikan efek negatif terhadap pasien, tapi juga bisa merugikan lingkungan karena bakteri ini bisa menular. Jika yang tertular adalah seseorang dengan sistem imun (kekebalan) yang rendah, orang tersebut juga beresiko terkena penyakit infeksi yang sama dikemudian hari.
“Bakteri ini pun juga bisa mencemari lingkungan, seperti tanah, air dan udara. Karena bakteri ini bisa bertahan beberapa hari di dunia luar,” paparnya.
Dokter jebolan FK Unair ini mengungkapkan, kuman kebal terhadap antibiotik tidak hanya disebabkan karena kesalahan kebiasaan manusia saja. Tapi juga bisa dicetuskan oleh penggunaan antibiotik yang tidak tepat di bidang pertanian dan perikanan.
“Karena pada dasarnya bakteri pasti ada di seluruh makhluk hidup dan lingkungan, atau biasa disebut sebagai flora normal,” ungkapnya.
Menurut dr. Merry, jangan sampai salah kaprah memberikan antibiotik kepada hewan dengan tujuan agar hewan menjadi lebih gemuk. Karena penyalahgunaan konsumsi antibiotik ini juga bisa menyebabkan kuman di badan hewan atau di lingkungan pertanian menjadi kebal.
“Jika kuman ini masuk lewat luka petani atau peternak, maka individu tersebut bisa terinfeksi bakteri kebal antibiotik,” ujarnya.
Untuk itu, permasalahan ini perlu disadari oleh seluruh lapisan masyarakat. Jika semua orang sadar akan besarnya efek konsumsi antibiotik yang tidak tepat untuk manusia, hewan maupun tumbuhan, maka tidak akan ada lagi orang yang sembarangan membeli antibiotik sendiri, mengkonsumsi antibiotik tidak sesuai anjuran dokter (mulai dari dosis hingga durasi) dan tidak menghabiskan antibiotik.
“Selain hal-hal yang tadi disebutkan, tentu saja yang paling utama adalah usaha menjaga kesehatan badan, yaitu dengan menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS),” kata dr. Merry.
Karena, dr. Merry memaparkan, semua penyakit infeksi bisa dilawan oleh sistem imun yang kuat yang tidak didapatkan dengan instan dan cuma-cuma. Tapi perlu diusahakan dengan makan makanan yang bergizi, olah raga teratur.
“Menjaga pikiran tetap positif, mengatur jam istirahat dan bekerja, dan banyak lagi hal baik lainnya,” paparnya.
Kemudian dr. Merry pun menjelaskan, apabila infeksi tidak kunjung sembuh, maka perlu dicari penyebab infeksinya, atau yang biasa disebut agen infeksi. Penentuan agen infeksi ini, untuk identifikasi dan pemilihan jenis antibiotik yang tepat, terapi yang tepat, bisa dilakukan lewat pemeriksaan yang namanya Kultur (tes medis yang dilakukan untuk mendeteksi infeksi bakteri atau jamur, serta mengidentifikasi jenisnya). Kultur dari sample apapun dari sumber infeksinya.
“Jika pasien batuk lama tidak sembuh-sembuh, kita ambil dahaknya untuk di cek kultur. Jika ada luka yang tidak sembuh-sembuh akan diambil dari area lukanya, jika pasien demam lama tidak sembuh-sembuh akan diambil sampel darahnya. Jika pasien infeksi saluran kemih maka diambil sampel urin nya, dan lain – lain. Jadi sampelnya bisa apa saja, tergantung dari sumber infeksinya,” jelasnya.
Dari pemeriksaan kultur itu, dr. Merry melanjutkan, bisa tahu penyebab infeksinya apa, nama bakterinya apa, kemudian antibiotik yang tepat apa. Dan untuk hasil dari pemeriksaan kultur, dibutuhkan waktu paling cepat dua hari.
“Karena butuh waktu cukup untuk menumbuhkan bakterinya, kemudian menganalisa dan menentukan terapi yang tepat,” lanjutnya.
“Mari mencegah bakteri kebal antibiotik demi menjaga kesehatan diri sendiri dan lingkungan,” pungkasnya.(tyas)