Kabaroposisi.net, Jakarta – Pidato Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, di Universitas Al Azhar baru-baru ini memicu diskusi hangat di tengah masyarakat. Dalam pidatonya, Prabowo mengusulkan agar pelaku korupsi yang mengembalikan uang negara dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan ampunan hukuman. Wacana tersebut menimbulkan beragam tanggapan, baik dari masyarakat maupun para pakar hukum.
Mahfud MD, salah satu tokoh yang menanggapi dengan tegas, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap usulan tersebut. Menurutnya, aturan hukum yang berlaku saat ini tidak memungkinkan koruptor dimaafkan meskipun telah mengembalikan kerugian negara. “Menurut hukum yang berlaku sekarang, itu (memaafkan koruptor) tidak boleh. Siapa yang membolehkan itu, bisa terkena Pasal 55, berarti ikut menyuburkan korupsi, ikut serta ya. Pasal 55 KUHP itu,” ujar Mahfud MD.
Di sisi lain, Yusril Ihza Mahendra, Menko Polhukam, memberikan pandangan yang lebih fleksibel terhadap wacana tersebut. Ia menyebut, secara hukum, pengembalian kerugian negara memang tidak otomatis menghapus sifat pidana suatu perbuatan. “Pidana kursi mengatakan bahwa pengembalian kerugian negara itu kan tidak mengembalikan sifat pidana perbuatan itu,” jelas Yusril dalam sebuah wawancara dengan Kompas TV, Sabtu (21/12/2024).
Namun, Yusril juga menyoroti perlunya merujuk pada aturan hukum yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Dasar 1945. Menurutnya, UUD 1945 memberikan kewenangan kepada presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. “Tapi kita harus baca undang-undang lain. Undang-undang lain lebih tinggi, sumbernya UUD 45,” ungkapnya.
Yusril menjelaskan bahwa kewenangan presiden dalam memberikan grasi dan abolisi tidak dapat dilakukan sembarangan. Prosedur tersebut harus melibatkan pertimbangan dari Mahkamah Agung atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Kalau presiden memberikan grasi minta pertimbangan Mahkamah Agung,” katanya. “Kalau Presiden memberikan grasi dan abolisi meminta pertimbangan DPR,” tambahnya.
Lebih lanjut, Yusril menegaskan bahwa grasi dan amnesti dapat diterapkan pada berbagai tindak pidana, termasuk korupsi. “Dan grasi maupun amnesti itu bisa diberikan dalam hal tindak pidana apapun,” tuturnya. Pandangan ini membuka peluang diskusi lebih luas terkait penerapan wacana tersebut.
Wacana ampunan untuk koruptor ini menuai pro-kontra di kalangan masyarakat. Sebagian pihak mengkhawatirkan usulan ini dapat melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Di sisi lain, ada pula yang melihat wacana ini sebagai peluang untuk mengembalikan kerugian negara secara lebih efektif.
Hingga kini, perdebatan terkait usulan tersebut terus berlangsung, baik di kalangan pakar hukum maupun masyarakat umum. Pemerintah diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih komprehensif untuk menjawab kekhawatiran publik terkait dampak dari wacana ini. (RYS)