Dalam konsep Jamkesrata, Negara menjamin layanan kesehatan kepada seluruh Warga Negara, tanpa kecuali dan diskriminasi.
Jakarta kabaroposisi.net. – Seberang Istana Negara, Senin (11/11) siang, dipenuhi ratusan rakyat miskin yang sedang menggelar aksi demonstrasi. Aksi tersebut digelar oleh Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI).
Dalam aksinya, SRMI mendesak Presiden Joko Widodo segera membubarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pasalnya, badan yang ditunjuk sebagai pengelenggara jaminan kesehatan itu terbukti gagal.
“Sejak mulai bekerja tahun 2014, BPJS terus defisit. Ini membuktikan mereka gagal menyelenggarakan jaminan sosial,” ujar Ketua Umum SRMI, Wahida Baharuddin Upa,
Menurutnya, persoalan utama BPJS ada pada konsepnya, yaitu asuransi sosial. Sistim asuransi ini mengharuskan pesertanya membayar premi.
“Perintah konstitusi kan jaminan sosial, tetapi prakteknya justru asuransi sosial yang sangat berorientasi pada pengumpulan keuntungan,” kata dia.
Dia menjelaskan, terkait penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan, ada aspek yang perlu ditekankan, yakni kesehatan sebagai hak dan prinsip jaminan sosial.
Dalam UUD 1945 pasal 28 H disebutkan bahwa kesehatan merupakan hak dasar Warga Negara. Artinya, Negara wajib memastikan hak setiap Warga Negara bisa mengakses layanan kesehatan tanpa rintangan, termasuk biaya.
“Harusnya tidak ada biaya yang membebani, yang menghalangi warga Negara mengakses haknya. Tak boleh ada diskriminasi layanan, hanya karena faktor biaya,” jelas dia.
Karena itu, lanjut Wahida, prinsip asuransi sosial ala BPJS bertentangan dengan mandat konstitusi. Sebab, selain membebani warga Negara dengan kewajiban membayar premi, bentuk layanannya pun bisa diskriminatif karena berbasis besaran premi.
Di konstitusi, khususnya pasal 28 H ayat (3) dan pasal 34 ayat (2), juga diatur soal jaminan sosial. Jelas sekali, jaminan sosial berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia, agar mereka lebih berdaya dan bermartabat.
Dalam aksinya, SRMI juga mendesak pemerintah menghentikan liberalisasi di sektor kesehatan.
“Liberalisasi menyebabkan harga obat, alat-alat kesehatan, dan tindakan medis berbiaya sangat mahal, karena orientasinya keuntungan,” ujarnya.
Jaminan Kesehatan Rakyat Semesta
Yang menarik, ketika SRMI menyerukan pembubaran BPJS, mereka sekaligus menawarkan konsep penggantinya.
“Kami mengajukan konsep Jaminan Kesehatan Rakyat Semesta atau Jamkesrata sebagai pengganti BPJS dan logika asuransi sosialnya,” kata Wahida.
Dalam konsep Jamkesrata, kata dia, Negara menjamin layanan kesehatan kepada seluruh Warga Negara, tanpa kecuali dan diskriminasi.
Wahida pun punya hitung-hitungannya. Jika merujuk model Jamkesmas di masa lalu, dimana Negara menanggung Rp 10 ribu per jiwa, maka setiap jiwa warga negara Indonesia memerlukan anggaran 120 ribu per tahun.
Dengan hitungan tersebut, untuk melayani 270 juta penduduk Indonesia, negara hanya butuh 32,4 triliun.
Sementara jika menggunakan hitungan biaya kelas III BPJS sekarang ini sebesar 42 ribu. Dalam setahun, Negara hanya butuh anggaran sebesar Rp 136 triliun untuk memberi layanan kesehatan standar kelas III kepada seluruh rakyatnya.
Apakah anggaran itu terlalu besar?
Tidak juga. Jika merujuk ke APBN 2020, anggaran Kememhan dan Polri jika digabung mencapai Rp 235,9 triliun. Sangat jauh di atas hitungan di atas.
Karena itu, kata Wahida, persoalannya bukan terletak pada ketersediaan anggaran, melainkan pada politik anggaran.
“Ini soal bagaimana Negara meletakkan prioritas anggaran, apakah pada kebutuhan mendesak rakyat atau lainnya,” kata dia.
Dia menegaskan, melalui konsep Jamkesrata, negara terpastikan menjamin hak seluruh rakyatnya untuk bisa mengakses layanan kesehatan.
“Kalau ada, misalnya orang kaya, tak mau mengakses layanan kesehatan yang disediakan Negara, ya silahkan mengakses layanan kesehatan komersil,” kata dia.
Namun, jika Negara berdalih sedang defisit APBN, Wahida masih punya opsi lain, yaitu kembali pada model Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang pernah berlaku di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Sumber : Mahesa Danu