Redaksi Kabaroposisi.net, – Mafia peradilan seperti bau busuk “gas” Ada namun tak terlihat fisiknya. Pers pasti paham.
SE MA Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Sidang, mengatur pengambilan foto, rekaman suara, rekaman televisi harus seizin ketua pengadilan negeri bersangkutan, bertentangan dengan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Kalau dilanjutkan, pasti akan menuai polemik berkepanjangan, khususnya dengan pers. Karena keduanya saling bertplak belakang. UU pers menganut azas kemerdekaan mencari gagasan dan informasi, sedangkan SE 2/2020, membatasi.
Kalaulah sekarang SE MA Nomor 2 Tahun 2020, dicabut, memang harus dicabut!!. Permasalahannya bukan hanya sampai disitu atau berfokus pada pencabutan itu saja. Siapa dibalik ide dikeluarkannya SE 2/2020 itu. Apakah mungkin Ketua MA tidak mengetahui substansi SE tersebut sebelum ditandataninya?! SE MA Nomor 2 Tahun 2020 itu jelas berpihak pada kemungkinan terjadinya ketidak adilan/mafia peradilan di ruang sidang.
Rahasia umum, di semua instansi termasuk institusi peradilan, selalu ada “oknum” perusak sistim yang bersih. Dalam dunia hukum/peradilan, sering disebut sebagai mafia peradilan. “Tukang menjungkir-balikkan” penegakan hukum dan keadilan. Nyaris semuanya dilakukan atas dasar motivasi uang. Memperparah keadaan, bila “oknum” dalam suatu institusi relatif banyak, bahkan “direstui” pimpinan institusinya. Apakah kondisi demikian masih dapat disebut “oknum”?!
Dalam situasi kondisi seperti itulah, fungsi pers sebagai sebagai kontrol sosial harus dijalankan, dengan segala “senjatanya” termasuk kamera, perekam audio video, kamera tersembunyi (hidden camera) dan lain-lain.
Bahkan seorang jurnalis diperbolehkan melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dalam melakukan kegiatan jurnalisme investigasi, selama dilakukan demi/memperjuangkan kepentingan umum dan sifatnya terbatas serta harus dilakukan jurnalis yang bermoral tinggi dan mempunyai tanggung jawab moral. Tak terkecuali untuk menguak ketidak-adilan atau mafia hukum di persidangan/pengadilan.
Dalam persidangan, hakim/peradilan, jelas harus dihormati secara proporsional. Namun kalau sampai harus melakukan pembatasan yang berlebihan seperti diatur dalam SE 2/2020 itu, justru akan berakibat “memanjakan/melindungi” oknum pelaku mafia peradilan. Karena hasil foto, perekaman gambar dan suara, setidaknya bisa dijadikan alat bukti atau sekurang-kurangnya, “petunjuk” untuk sarana membongkar “pelencengan” keadilan atau setidaknya menjadi “rem” bagi oknum-oknum itu.
Penulis :
Hartanto Boechori – Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI)
Wartawan Utama