Fenomena Hukum Pelecehan Seksual di Indonesia dan Efektivitas UU TPKS

Oplus_131072

Pelecehan seksual adalah isu yang sangat kompleks dan memprihatinkan di Indonesia. Kasus pelecehan seksual yang semakin marak menjadi sorotan masyarakat, baik dari sisi moral maupun hukum. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan tahun 2021, terdapat lebih dari 340.000 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, yang meliputi berbagai bentuk pelecehan, seperti pemerkosaan, eksploitasi seksual anak, dan tindakan kekerasan lainnya. Lonjakan kasus ini mengindikasikan perlunya perlindungan hukum yang kuat dan komprehensif untuk melindungi korban dari kekerasan seksual.

Pada tahun 2022, pemerintah Indonesia merespons permasalahan ini dengan mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Harapannya, UU ini dapat menjadi payung hukum yang lebih efektif dalam melindungi korban dan memberikan sanksi bagi pelaku. Namun, efektivitas UU TPKS masih dihadapkan pada berbagai tantangan implementasi. Dalam menganalisis hal ini, teori Soerjono Soekanto tentang efektivitas hukum dapat menjadi kerangka kerja yang relevan untuk menilai penerapan UU TPKS di Indonesia.

Latar Belakang Tindak Pidana Kekerasan Seksual di Indonesia

Kasus kekerasan seksual di Indonesia merupakan masalah yang kompleks, terutama karena tingginya angka kekerasan seksual dan rendahnya penanganan terhadap kasus-kasus tersebut. Sebelum adanya UU TPKS, ketidakjelasan regulasi membuat banyak kasus pelecehan seksual tidak tertangani dengan baik. Stigma sosial dan kurangnya kepercayaan pada sistem peradilan juga membuat banyak korban enggan melapor.

Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya kasus seperti yang dialami kakak beradik DSA (15) dan KHS (17) di Kabupaten Purworejo. Mereka menjadi korban kekerasan seksual oleh 13 pria tetangganya sepanjang tahun 2023, yang menyebabkan sang adik hamil dan melahirkan. Kasus ini menggarisbawahi berbagai permasalahan yang perlu dibenahi agar UU TPKS dapat berfungsi secara efektif, seperti lemahnya respons aparat penegak hukum, rendahnya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kekerasan seksual, serta norma tradisional yang masih melekat di masyarakat terkait gender dan kekerasan seksual.

Teori Efektivitas Hukum Soerjono Soekanto

Menurut Soerjono Soekanto, efektivitas hukum dipengaruhi oleh lima faktor:

1. Faktor Hukum: Kualitas dan kejelasan substansi hukum.

2. Faktor Aparat Penegak Hukum: Profesionalisme dan kompetensi aparat yang menegakkan hukum.

3. Faktor Sarana: Fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor Masyarakat: Sikap dan penerimaan masyarakat terhadap hukum.

5. Faktor Budaya Hukum: Nilai dan norma yang mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap hukum.

Analisis ini dapat membantu mengidentifikasi tantangan yang dihadapi UU TPKS, sehingga implementasinya dapat dioptimalkan.

Aplikasi Teori Efektivitas Hukum dalam UU TPKS

1. Faktor Hukum UU TPKS memiliki substansi yang cukup komprehensif dalam mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual dan perlindungan bagi korban. Namun, kendala muncul ketika undang-undang ini belum sepenuhnya dipahami oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat. Sosialisasi UU TPKS yang kurang merata dapat mengakibatkan ketidakpahaman akan hak-hak korban dan prosedur yang harus dijalani, yang pada akhirnya menghambat implementasi undang-undang ini.

2. Faktor Aparat Penegak Hukum Profesionalisme aparat penegak hukum sangat penting dalam menangani kasus kekerasan seksual agar korban mendapatkan perlindungan yang layak. Pelatihan khusus mengenai kepekaan gender dan penanganan korban kekerasan seksual perlu diberikan agar aparat dapat bekerja dengan lebih sensitif. Tanpa pemahaman yang baik terhadap UU TPKS, aparat mungkin tidak mampu memberikan perlindungan yang optimal kepada korban.

3. Faktor Sarana Sarana dan prasarana yang mendukung penegakan UU TPKS juga menjadi faktor penting dalam efektivitas undang-undang ini. Fasilitas, seperti pusat pelayanan terpadu untuk korban, saluran pengaduan yang aman, dan mekanisme pendampingan korban, sangat diperlukan untuk meningkatkan aksesibilitas dan efektivitas UU TPKS.

4. Faktor Masyarakat Stigma sosial terhadap korban kekerasan seksual masih menjadi penghalang dalam implementasi UU TPKS. Banyak korban yang merasa takut atau malu untuk melapor karena kekhawatiran akan dikucilkan oleh lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya kampanye kesadaran publik untuk mendorong masyarakat melaporkan kasus kekerasan seksual serta mendukung korban, agar perubahan dalam sikap masyarakat terhadap kekerasan seksual dapat tercapai.

5. Faktor Budaya Hukum Budaya hukum yang masih mengandung pandangan tradisional terkait peran gender dan kekerasan seksual menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi UU TPKS. Pendidikan dan kampanye kesetaraan gender perlu dilakukan untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap kekerasan seksual. UU TPKS hanya dapat efektif apabila masyarakat menerima bahwa kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang harus dihentikan.

Analisis menggunakan teori Soerjono Soekanto tentang efektivitas hukum memberikan panduan yang berguna dalam mengevaluasi tantangan yang dihadapi UU TPKS. Upaya implementasi UU ini tidak hanya tergantung pada aturan hukum yang dibuat, tetapi juga pada kesiapan aparat penegak hukum, kesiapan sarana, sikap masyarakat, dan perubahan budaya hukum di Indonesia. Kerjasama semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, serta organisasi non-pemerintah sangat diperlukan agar UU TPKS dapat berjalan dengan efektif dan tujuan perlindungan korban dapat tercapai.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual merupakan langkah besar dalam memberikan perlindungan kepada korban kekerasan seksual di Indonesia. Namun, tantangan dalam implementasi UU ini masih cukup besar. Untuk mencapai efektivitas dalam penegakannya, faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan hukum harus diatasi secara bersama-sama. Pendekatan melalui teori Soerjono Soekanto memberikan pandangan yang holistik tentang upaya optimalisasi UU TPKS. Diharapkan dengan peningkatan efektivitas UU TPKS, masyarakat Indonesia dapat hidup di lingkungan yang aman dari kekerasan seksual, sehingga perlindungan hak asasi manusia dapat tercapai.

Oleh Wahyu Hidayat
Prodi : Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas : Syariah
Universitas : UIN Raden Mas Said Surakarta

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *