Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Oktober 2024 memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satu poin menarik dari putusan ini adalah pengaturan lebih rinci mengenai jenis dan bidang pekerjaan alih daya atau outsourcing. Keputusan ini, yang bersifat final dan mengikat, diharapkan mampu memberikan kejelasan hukum atas praktik outsourcing di Indonesia.
Outsourcing, atau pekerja alih daya, merupakan praktik bisnis di mana perusahaan menyerahkan sebagian atau seluruh tugas tertentu kepada pihak ketiga. Alasan utama penggunaan outsourcing adalah untuk meningkatkan efisiensi, menekan biaya operasional, dan memperbesar margin keuntungan. Secara teori, manfaat finansial dari outsourcing ini dapat berdampak positif pada perekonomian, seperti membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, pada kenyataannya, praktik ini memunculkan banyak kritik, terutama dari kalangan pekerja.
Perspektif Realita: Eksploitasi dalam Dunia Kerja
Di lapangan, outsourcing sering dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap tenaga kerja. Banyak pekerja alih daya yang merasa berada di posisi subordinat dibandingkan pekerja tetap. Perbedaan ini tercermin pada upah yang lebih rendah, jaminan kerja yang minim, dan ketidakpastian kontrak kerja. Salah satu komentar warganet di laman media sosial X mencerminkan ketidakpuasan tersebut:
“Outsourcing itu banyak yang curang, gajinya banyak potongan, seenaknya masukin orang keluarin orang, pakai aturan ijazah ditahan biar enggak sembarangan resign,” tulis @ha****.
Komentar ini menggambarkan ketidakadilan yang sering dialami pekerja outsourcing, mulai dari potongan gaji yang tidak wajar hingga perlakuan diskriminatif. Selain itu, pekerja outsourcing juga sering kali harus memperpanjang kontrak kerja setiap tiga bulan tanpa ada jaminan perpanjangan di masa depan. Hal ini membuat hubungan industrial menjadi tidak stabil dan rentan konflik.
Tantangan Regulasi dan Peran Pemerintah
Dalam konteks hubungan industrial, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan regulasi yang adil. Namun, dalam kasus UU Cipta Kerja, banyak pihak menilai kebijakan ini lebih menguntungkan pengusaha dibandingkan pekerja. Outsourcing seharusnya dilaksanakan dengan prinsip keadilan, di mana pekerja memiliki hubungan langsung dengan perusahaan pengguna jasa, bukan dengan penyedia tenaga kerja. Ketidakjelasan ini sering kali menyebabkan hak-hak pekerja tidak terpenuhi.
Praktik outsourcing juga rentan terhadap penyalahgunaan, seperti suap dalam tender dan perpanjangan kontrak. Hal ini menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum sepenuhnya efektif dalam melindungi pekerja atau mencegah praktik korupsi dalam proses outsourcing.
Outsourcing dalam Perspektif Utilitarianisme
Dalam teori utilitarianisme yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, prinsip kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbanyak menjadi dasar dalam pengambilan keputusan. Regulasi outsourcing dalam UU Cipta Kerja seharusnya mampu mencerminkan prinsip ini. Dengan kata lain, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat luas, termasuk pekerja outsourcing.
Hal ini dapat diwujudkan melalui perencanaan yang matang, transparansi dalam pembuatan kontrak kerja, dan pengawasan terhadap implementasi outsourcing. Pemerintah juga perlu mengantisipasi keluhan yang sering muncul, seperti praktik ketidakadilan dalam sistem outsourcing dan hierarki kerja yang semakin tajam.
Masa Depan Regulasi Outsourcing
Hukum seharusnya tidak hanya menjadi alat formalitas belaka, tetapi juga mampu menjawab tantangan zaman dengan inovasi yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam konteks outsourcing, pemerintah harus lebih akuntabel dalam memastikan bahwa setiap regulasi yang dibuat benar-benar melindungi hak-hak pekerja. Pengawasan terhadap pelaksanaan outsourcing juga perlu ditingkatkan untuk mencegah eksploitasi dan diskriminasi dalam hubungan industrial.
Dengan demikian, meskipun outsourcing dapat memberikan keuntungan ekonomi, regulasi yang jelas, adil, dan transparan menjadi kunci untuk memastikan bahwa praktik ini tidak justru menjadi sumber penderitaan bagi kelas pekerja. Sebagai langkah awal, pemerintah perlu mendengar suara para pekerja dan menjadikannya dasar dalam menyusun kebijakan yang lebih baik di masa depan.
(Hadirnya hukum tidaklah boleh berfokus pada formalitas belaka, hukum seharusnya melihat kedepan dan senantiasa melakukan terobosan)
Oleh: Nurma Ayu Wulandari
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta