Masyarakat Menanti, Koruptor Merayakan: Lambatnya Pengesahan RUU Perampasan Aset

Oplus_131072

Pendahuluan
Korupsi telah menjadi salah satu penyakit kronis yang menggerogoti keuangan negara dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Salah satu solusi yang diusulkan untuk memerangi masalah ini adalah melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU Perampasan Aset). Regulasi ini dinilai krusial karena memungkinkan negara merampas aset hasil korupsi tanpa harus menunggu putusan pidana yang membutuhkan proses panjang. Namun, hingga kini RUU tersebut belum juga disahkan, memberikan ruang bagi koruptor untuk menyembunyikan aset haram mereka, sementara masyarakat terus dirugikan. Artikel ini mengulas perjalanan panjang RUU Perampasan Aset, keterlambatan pengesahannya, dan bagaimana fenomena ini dapat dianalisis melalui teori konflik sosial Karl Marx.

Seluk Beluk RUU Perampasan Aset
RUU Perampasan Aset pertama kali diusulkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2008. Setelah melalui pembahasan lintas kementerian, draf ini diajukan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2011, tetapi tidak ada tindak lanjut signifikan hingga akhir masa pemerintahannya. Harapan sempat muncul pada era Presiden Joko Widodo ketika RUU ini masuk ke dalam Prolegnas Jangka Menengah 2015-2019 dan Prolegnas Prioritas 2021. Namun, kenyataannya, hingga 2024, RUU ini masih belum menemui titik terang.

Ironisnya, meskipun pemerintah berkali-kali mendesak pembahasan RUU Perampasan Aset, langkah ini terhambat oleh resistensi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan dalam rapat paripurna dan Baleg DPR 2024, RUU ini kembali gagal masuk Prolegnas Prioritas 2025. Alasan yang diutarakan adalah perlunya lobi dan persetujuan dari ketua-ketua partai politik, mengindikasikan politisasi dalam proses legislasi.

RUU Perampasan Aset dan Teori Konflik Sosial Karl Marx
Fenomena lambatnya pengesahan RUU ini dapat dianalisis melalui teori konflik sosial Karl Marx. Marx membagi masyarakat ke dalam dua kelas utama: kaum borjuis, yang memiliki alat produksi dan kekuasaan ekonomi, serta kaum proletar, yang hanya memiliki tenaga kerja mereka. Dalam konteks ini, koruptor dapat diibaratkan sebagai “borjuis” yang menguasai sumber daya melalui cara-cara ilegal, sedangkan masyarakat adalah “proletar” yang terus dirugikan akibat korupsi.

Marx menegaskan bahwa konflik antara kedua kelas ini bersifat inheren dalam sistem kapitalis, di mana kaum borjuis cenderung menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan privilese mereka. Hal ini terlihat dalam proses legislasi RUU Perampasan Aset, di mana terdapat kesan bahwa beberapa anggota parlemen lebih mengutamakan kepentingan politik tertentu dibandingkan kepentingan rakyat. Sikap ini mencerminkan alienasi, di mana DPR—sebagai wakil rakyat—justru terlihat tidak berpihak pada rakyat yang mereka representasikan.

Implikasi Lambatnya Pengesahan RUU Perampasan Aset
Ketiadaan regulasi yang tegas terhadap perampasan aset koruptor memperburuk dampak korupsi di Indonesia. Saat ini, hukuman yang diberikan kepada koruptor sering kali terbatas pada pidana badan dan denda nominal yang jauh lebih kecil dibandingkan kerugian negara. Akibatnya, para koruptor masih bisa menikmati hasil kejahatannya setelah bebas dari penjara, tanpa memberikan efek jera yang signifikan.

Jika RUU Perampasan Aset disahkan, negara akan memiliki dasar hukum yang kuat untuk merampas seluruh aset hasil korupsi, termasuk uang, properti, kendaraan, hingga investasi. Langkah ini tidak hanya mengembalikan uang rakyat, tetapi juga memberikan efek psikologis yang kuat kepada calon pelaku korupsi. Mereka akan berpikir berulang kali sebelum melakukan tindak pidana karena risiko kehilangan seluruh hasil kejahatannya.

Namun, lambatnya pengesahan RUU ini mengindikasikan lemahnya komitmen politik untuk memberantas korupsi. Kesan bahwa DPR lebih melindungi kepentingan tertentu dibandingkan rakyat memperburuk krisis kepercayaan publik. Hal ini terlihat dari banyaknya kritik masyarakat melalui media sosial, dengan sebagian menyebut DPR sebagai penghambat pemberantasan korupsi.

Opini: Pentingnya Reformasi Legislasi dan Keterlibatan Publik
Lambatnya pengesahan RUU Perampasan Aset adalah tamparan bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat, bukan tunduk pada tekanan kelompok tertentu. Oleh karena itu, diperlukan reformasi dalam proses legislasi agar lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari intervensi politik yang tidak sehat.

Selain itu, masyarakat harus terus mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU ini. Tekanan publik adalah salah satu alat yang efektif untuk memastikan wakil rakyat menjalankan tugasnya dengan baik. Petisi daring, demonstrasi damai, dan kampanye kesadaran adalah langkah yang dapat diambil untuk memperkuat advokasi terhadap regulasi ini.

Kesimpulan
Lambatnya pengesahan RUU Perampasan Aset adalah cermin dari kompleksitas politik Indonesia, di mana kepentingan kelompok tertentu sering kali menghambat kebijakan yang pro-rakyat. Mengacu pada teori Karl Marx, situasi ini mencerminkan ketimpangan kekuasaan antara rakyat sebagai pekerja dan elite politik sebagai pemilik sumber daya.

RUU Perampasan Aset adalah langkah esensial dalam memerangi korupsi, tidak hanya untuk mengembalikan aset negara tetapi juga untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Jika regulasi ini terus-menerus tertunda, maka masyarakat harus lebih vokal dalam menyuarakan tuntutannya, memastikan bahwa kepentingan rakyat menjadi prioritas utama dalam proses legislasi. Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih, adil, dan bebas dari korupsi.

Nama: Fathiya Khairu Izzati,
Jurusan: Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas : Syariah
Universitas: UIN Raden Mas Said Surakarta

Pos terkait