PENYALAHGUNAAN UU ITE: ANTARA TUJUAN DAN REALITA

Pendahuluan

Kemajuan teknologi informasi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Untuk mengakomodasi perubahan ini, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada 21 April 2008. UU ini bertujuan mendukung ekosistem digital yang sehat, menjamin keamanan transaksi elektronik, serta melindungi hak individu. Namun, realitas implementasi UU ITE sering kali melenceng dari tujuan awalnya. Alih-alih menjadi alat perlindungan, UU ini kerap digunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat, menciptakan ketakutan di masyarakat, dan menjadi instrumen kriminalisasi.

Sejarah dan Tujuan Awal UU ITE

UU ITE lahir dari penggabungan dua Rancangan Undang-Undang (RUU), yakni RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi dari Universitas Padjajaran dan RUU E-Commerce dari Universitas Indonesia. Setelah melalui proses panjang, kedua naskah ini disahkan oleh DPR.

Tujuan awal UU ITE adalah memberikan landasan hukum yang jelas dalam pemanfaatan teknologi informasi, menjamin keamanan transaksi elektronik, dan melindungi masyarakat dari kejahatan berbasis teknologi. Dengan semangat ini, UU ITE diharapkan menjadi fondasi masyarakat digital yang aman, transparan, dan inklusif.

Namun, seiring waktu, penerapan UU ITE mengalami pergeseran dari tujuan awalnya. Beberapa pasal, seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang penyebaran kebencian, sering digunakan secara multitafsir. Celah multitafsir ini membuka peluang penyalahgunaan UU ITE, baik oleh individu maupun institusi, sehingga mencederai semangat demokrasi.

Studi Kasus: Jaksa Jovi

Kasus penyalahgunaan UU ITE dapat dilihat pada kasus yang menimpa Jaksa Jovi. Ia mengunggah foto di media sosial yang memperlihatkan rekannya, Nella Marsela, menggunakan mobil dinas untuk keperluan pribadi. Jovi bermaksud mengungkap pelanggaran ini sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai penegak hukum.

Namun, alih-alih merespons kritik tersebut, Nella melaporkan Jovi atas tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 45 ayat (4) UU No. 1 Tahun 2024 (perubahan kedua atas UU ITE). Kasus ini menjadi perhatian publik karena dianggap sepele, tetapi berdampak besar pada karier Jovi, yang bahkan terancam diberhentikan.

Kasus ini menggambarkan bagaimana pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE sering digunakan untuk membungkam kritik atau menyelesaikan konflik personal secara hukum. Padahal, kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusional yang seharusnya dilindungi.

Analisis: Pergeseran Tujuan UU ITE

Pergeseran tujuan UU ITE dari alat perlindungan menjadi alat represif sangat mengkhawatirkan. UU yang awalnya dirancang untuk mendukung masyarakat digital kini justru menciptakan ketakutan dalam menyuarakan pendapat. Banyak kasus serupa dengan Jaksa Jovi menunjukkan bahwa pasal-pasal multitafsir digunakan sebagai senjata untuk mengekang kritik dan kebebasan berekspresi.

Dalam sistem demokrasi, UU ITE seharusnya memperkuat kebebasan berpendapat, bukan mengekangnya. Multitafsir pada beberapa pasal memberikan celah bagi pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan hukum secara subjektif, sehingga esensi demokrasi terkikis.

Reformasi terhadap UU ITE sangat diperlukan. Revisi pasal-pasal multitafsir adalah langkah awal untuk mengembalikan tujuan awal pembentukan UU ini. Selain itu, penerapan hukum harus berdasarkan semangat keadilan, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Faktor Penyebab Penyalahgunaan UU ITE

Beberapa faktor yang menyebabkan penyalahgunaan UU ITE meliputi:

1. Tekanan Sosial: Kelompok tertentu sering memberikan tekanan politik, ekonomi, atau sosial untuk membungkam kritik dan melindungi kepentingannya.

2. Kesenjangan Norma dan Hukum: Dinamika masyarakat di ruang digital sering kali lebih cepat daripada adaptasi norma sosial dan hukum tertulis.

3. Alat Politik: UU ITE kerap dijadikan alat politik untuk menyingkirkan lawan, membungkam kritik, atau menguntungkan kelompok tertentu.

4. Rumusan Pasal yang Multitafsir: Pasal-pasal dalam UU ITE memiliki ruang interpretasi yang luas, sehingga rentan disalahgunakan.

5. Penegakan Hukum yang Tidak Konsisten: Ketidak konsistenan dan selektivitas dalam penegakan hukum menciptakan ketidakadilan dan mengurangi kepercayaan masyarakat

Solusi untuk Mengatasi Penyalahgunaan UU ITE

Untuk mengatasi penyalahgunaan UU ITE, beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:

1. Mengkaji Ulang UU ITE: Melakukan revisi terhadap pasal-pasal multitafsir agar lebih jelas dan tegas.

2. Menguatkan Penegakan Hukum: Menegakkan hukum secara konsisten dan adil tanpa pandang bulu.

3. Meningkatkan Literasi Digital: Mengedukasi masyarakat tentang hukum dan teknologi digital melalui sosialisasi.

4. Memantau Implementasi UU ITE: Memastikan penggunaan UU ITE diawasi secara ketat untuk mencegah penyalahgunaan.

Kesimpulan

UU ITE dirancang dengan tujuan mulia untuk mendukung perkembangan teknologi informasi dan melindungi masyarakat dalam ekosistem digital. Namun, realitas menunjukkan adanya penyalahgunaan yang melenceng dari tujuan awalnya. Kasus seperti Jaksa Jovi hanya salah satu contoh dari banyaknya kasus yang mengkhawatirkan.

Pergeseran fungsi UU ITE dari alat perlindungan menjadi alat represif menunjukkan perlunya evaluasi serius. Reformasi melalui revisi pasal multitafsir dan penerapan hukum yang adil sangat penting untuk mengembalikan UU ITE kepada tujuan awalnya. Dengan langkah ini, UU ITE dapat menjadi instrumen perlindungan yang mendukung kebebasan berpendapat sebagai fondasi utama demokrasi.

Oleh: Salsabilla Diana Putri
Jurusan: Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas : syariah
Universitas: UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Pos terkait