Tantangan Penegakan Hukum di Indonesia: Perspektif Sosiologi Hukum

Oplus_131072

Pendahuluan
Penegakan hukum di Indonesia sering menjadi sorotan, terutama ketika berhadapan dengan kasus-kasus besar yang mengungkap konflik antara nilai sosial dan penerapan hukum. Salah satu kasus terbaru adalah operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Penjabat (Pj) Wali Kota Pekanbaru oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang berhasil mengungkap korupsi dengan modus penyimpangan anggaran daerah senilai lebih dari Rp1 miliar. Peristiwa ini mencerminkan lemahnya integritas dan akuntabilitas dalam birokrasi pemerintah daerah.

Melalui perspektif sosiologi hukum, kasus ini tidak hanya mencerminkan lemahnya implementasi aturan formal, tetapi juga mengungkap kesenjangan antara norma hukum dan nilai sosial yang berlaku. Dalam masyarakat tertentu, korupsi sering dianggap sebagai “hal biasa,” mencerminkan budaya permisif yang masih mengakar. Oleh karena itu, pembenahan hukum di Indonesia harus melibatkan perubahan budaya masyarakat, tidak hanya sekadar penegakan aturan formal.

Korupsi dan Norma Sosial
Korupsi di Indonesia sering kali mendapat toleransi sosial yang tinggi, khususnya di daerah-daerah tertentu. Fenomena ini menunjukkan ketidaksesuaian antara norma sosial yang berlaku dengan norma hukum yang seharusnya ditegakkan. Dalam konteks sosiologi hukum, pandangan Emile Durkheim menjadi relevan, di mana hukum mencerminkan solidaritas sosial. Ketidaksesuaian ini menggambarkan adanya disharmoni antara nilai kolektif masyarakat dan hukum formal.

Budaya permisif terhadap korupsi juga menunjukkan bahwa hukum di Indonesia sering kali tidak memiliki daya paksa yang cukup karena kurangnya dukungan sosial. Sebagai contoh, korupsi dianggap “lumrah” oleh sebagian kalangan sehingga praktik-praktik ini terus berulang. Oleh karena itu, reformasi hukum perlu berfokus pada rekonstruksi norma sosial yang mendukung transparansi, akuntabilitas, dan kejujuran.

Peran Lembaga Penegak Hukum
Sebagai agen perubahan, KPK memiliki peran vital dalam mendobrak budaya diam (culture of silence) yang selama ini menghambat pemberantasan korupsi. Langkah-langkah seperti OTT Wali Kota Pekanbaru menegaskan bahwa penegakan hukum harus tegas, transparan, dan didukung pengawasan yang efektif. Namun, efektivitas hukum tidak hanya bergantung pada institusi seperti KPK, melainkan juga pada partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi praktik korupsi.

Pengawasan dalam sektor militer juga menjadi tantangan besar. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperkuat kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi di lingkungan militer adalah langkah signifikan. Namun, implementasi kebijakan ini membutuhkan komitmen dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa semua elemen, termasuk militer, tunduk pada prinsip hukum yang sama.

Pendekatan Empiris dalam Penegakan Hukum
Dalam konteks Indonesia, penegakan hukum idealnya mengadopsi pendekatan empiris, yaitu memahami bagaimana faktor sosial, budaya, dan institusional memengaruhi perilaku masyarakat terhadap hukum. Fenomena seperti budaya permisif terhadap korupsi dan lemahnya partisipasi masyarakat menunjukkan bahwa analisis empiris diperlukan untuk memahami bagaimana hukum diterapkan secara nyata di masyarakat.

Pemanfaatan teknologi juga menjadi langkah strategis dalam mendukung transparansi dan akuntabilitas. Contohnya, sistem e-budgeting yang diterapkan di beberapa daerah terbukti mampu mengurangi manipulasi anggaran dan meningkatkan efisiensi. Namun, teknologi saja tidak cukup. Reformasi hukum membutuhkan keberanian pemimpin politik dan aparat penegak hukum untuk menindak tegas para pelaku korupsi, sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi pelapor.

Pembelajaran dari Negara Lain
Indonesia dapat belajar dari pendekatan negara-negara yang berhasil menciptakan budaya anti-korupsi, seperti negara-negara Skandinavia. Melalui integrasi nilai kejujuran dan transparansi ke dalam pendidikan sejak dini, negara-negara tersebut berhasil membentuk norma sosial yang tidak toleran terhadap korupsi. Meskipun demikian, pembelajaran ini perlu diadaptasi sesuai dengan konteks sosial dan budaya Indonesia.

Penutup
Melalui perspektif sosiologi hukum, penegakan hukum yang ideal di Indonesia tidak hanya berfokus pada pemberian sanksi, tetapi juga pada pembentukan nilai-nilai kolektif yang mendukung supremasi hukum. Kasus OTT Wali Kota Pekanbaru dan perluasan kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi di lingkungan militer menjadi pengingat bahwa hukum harus relevan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan zaman.

Transformasi ini memerlukan kolaborasi antara negara, masyarakat, dan institusi hukum untuk menciptakan sistem hukum yang adil, transparan, dan responsif. Dengan upaya yang berkelanjutan, Indonesia dapat menciptakan masyarakat yang bebas dari korupsi, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan memprioritaskan keadilan sosial.

Oleh:
Annisa Risqy Mufidah
Fakultas Syariah, Hukum Ekonomi Syariah
Universitas Islam Negeri Surakarta

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *