Akankah Kejayaan Swasembada di era 80-an kembali di 2020, Ketahanan Pangan Merosot Turun

Kabaroposisi.net, – 22/02/2020 Kondisi Nilai Tukar Petani  (NTP) yang fluktuatif bahkan cenderung menurun, mengindikasikan Indonesia tengah menuju jeratan krisis pangan nasional.

Musim tanam telah berlalu sebentar lagi masyarakat tani khususnya panen, masyarakat tani yang berada di area tadah hujan akan melakukan pesta panen hasil buminya. Tentunya ketika masa panen tiba setiap hati akan bersuka ria dan bahagia karena meski secara tidak langsung mereka juga akan merasakan manfaatnya.

Bersemangat petani di panen raya

Tetapi semua itu telah berlalu, pada saat ini banyak masyarakat Tani kita yang telah beralih komoditi, jika sebelumnya ladang dan sawah banyak di tanami padi,jagung, singkong, kacang-kacangan dan sejenisnya, namun pada saat ini banyak diantara petani kita berpindah dalam bercocok tanam terkesan memenuhi kebutuhan produksi perusahaan seperti Tanaman Tebu dan sengon. k

ketahanan pangan kita Rakyat Indonesia mulai terancam dan mengalami ketergantungan pada asing melalui impor, padahal di era 80-an kita Indonesia, tepatnya pada tahun 1985 Indonesia memperoleh penghargaan dari food agricultural organization (FAO) Karena kesuksesannya melakukan Swasembada beras.

Di sadari atau tidak, ketika musim panen Tiba (Padi dan Jagung) semua harga kebutuhan pangan akan lebih murah dari pada sebelumnya. Namun beda halnya ketika masyarakat mulai menebang hasil sengon harga Triplek juga tidak akan ada penurunan harga kecuali harga sengon yang anjlok, begitupun juga ketika musim tebang Tebu harga Gula juga tidak akan murah tapi justru harga tebu petanilah yang menjadi murah.

Meski demikian Pemerintah Republik Indonesia tidak henti-hentinya memberikan insentif kepada para petani untuk memperkuat ketahanan pangan melalui organisasi kemasyarakatan desa, “poktan dan gapokton”, tidak tanggung-tanggung bantuan dalam sektor pertanian yang di gelontorkan oleh pemerintah meski terkadang bantuan dari pemerintah selesai dengan pelaporan dan dokumentasi tanpa hasil yang memadai.

Pengamat Pertanian Universitas Padjadjaran, Tarkus Suganda tidak menepis kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis pangan sebab, ketersediaan makanan tanah air semakin merosot dari waktu ke waktu.

Kebutuhan industri mengurangi lahan primier

“Pertumbuhan penduduk kita sangat pesat otomatis membuat kebutuhan pangan melonjak, padahal di sisi lain tingkat kesuburan dan jumlah lahan kian merosot,” ucap Suganda

Ia meyakini rendahnya tingkat ketahanan pangan nasional dipicu oleh dua faktor yakni internal dan eksternal. Faktor internal menurutnya berhubungan dengan petani secara langsung seperti konversi lahan, mobilisasi pekerjaan, dan tanaman semusim.

“Sementara faktor eksternal dipengaruhi pasar bebas, revitalisasi pertanian, dan pemanfaatan riset dan teknologi,” tuturnya.

Terkait pasar bebas, ia menjelaskan, meski berguna dalam meningkatkan distribusi pangan, namun tetap berbahaya bila petani tenggelam akibat tekanan pasar internasional.

“Pasar bebas dan revitalisasi cenderung didominasi kepentingan pihak tertentu yang paling utama yakni perusahaan besar dan para pejabat yang memikirkan kepentingannya pribadi,” ujar Suganda.

Ia menuturkan kasus impor yang menguak nama-nama politisi di negeri ini sudah jelas membuktikan di mana sumber permasalahannya.

Suganda menekankan untuk menghindari krisis pangan, hilirasi produk-produk pertanian menjadi sebuah hal yang amat krusial.

Hal ini pun menurutnya tidak akan terlepas dari dukungan pemerintah dalam memudahkan para investor untuk terpikat mendirikan pabrik hilirisasi pertanian.

“Bila pemerintah kita berpikir untuk meningkatkan pendapatan dari sektor riil, seharusnya mereka memudahkan seluruh regulasi, sehingga dunia usaha mampu berkembang,” pungkas Suganda.

#dikutip dari beberapa sumber

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *